BRITA7 - Berikut ini analisa seorang netizen tentang berita heboh razia warteg di kota serang. Saya sebetulnya puasa menanggapi soal Satpol PP Serang yang menutup paksa warteg seorang Ibu. Tapi untuk soal satu ini puasa saya batal, karena terdorong ikut menanggapi, setelah melihat begitu gampang publik tergiring oleh gaya klise pemberitaan media sekarang.
Emosi yang terpicu umumnya adalah: Kasihan si ibu itu, kehilangan nafkah gara-gara pemaksaan agama dan sikap tidak toleran orang berpuasa.
Nah, mikirnya harus adil: ada puluhan bahkan ratusan pemilik warung makan di Serang yang secara sadar menutup warung makannya selama siang hari, karena taat aturan sekaligus menghormati Ramadhan. Banyak dari mereka seumur dan setingkat ekonominya dengan si ibu yang ditutup paksa itu, pasti mereka juga kehilangan rezeki, kenapa tidak kasihan kepada mereka? Yang jauh lebih banyak?
Kenapa yang tutup sendiri tak diliput media? Karena tidak ada unsur dramatis, ‘bukan berita’. Kalau ada pemaksaan kan asyik tuh gambarnya, ekspresinya, komentarnya.
Tapi emosi masyarakat yang dewasa tak bisa dieksploitasi media.
Pemkot setempat telah mengeluarkan aturan, edaran, yang intinya menyatakan warung-warung makan dilarang buka SIANG HARI selama Ramadhan.
Aturan tentu tak milih-milih milik rakyat kecil, nenek atau pengusaha abege.
Si ibu itu tidak mempraktikan kompetisi dagang yang adil karena dia buka sendiri saat rekan-rekan seprofesinya tutup. Ia bisa jualan menjelang magrib sampai malam, ketika yang lain-lain juga buka. Dan semua orang tau, pasar makanan jauh lebih rame saat buka puasa.
Sisihkan dulu rasa iba yang sering mengelebui pikiran.
Jadi yang salah siapa? Satpol PP? tentu tidak. Itu kewajiban mereka. Peraturan Pemkot Serang? Nilai saja sendiri, aturan yang melarang warung makan buka siang untuk kota yang 90persen lebih penduduknya Muslim, berjuluk kota santri pula. Data statistik tahun 2014 menunjukkan, dari sekitar 600 ribu jumlah penduduk kota itu, yang non muslim tak sampai 9 ribu orang. Kalau disebar rata 6 kecamatan yang ada di Kota Serang, satu kecamatan sekitar 1.500 orang. Itu pun hanya satu-dua dari mereka yang pelanggan warteg.
Supaya ungkapan kepedulian tak habis, orang berdalih: “Ah, beraninya sama rakyat kecil. Coba sama restoran dan hotel besar, berani ga?” Kalau betul jujur ingin mendapat jawaban ini, jangan menunggu kata-kata, pergi saja ke Kota Serang. Lihat sendiri, restoran-restoran di sana tutup atau buka?
Kalau hotel? Tolong fahami, fungsi utama hotel itu untuk tinggal, seperti rumah. Di rumah sendiri anda boleh menyajikan makanan kepada tamu.
Lalu alasan kita adalah, mungkin, meski mayoritas warga Serang Muslim, tapi kebanyakan mereka itu tidak puasa, dan Muslim katepe ini lah yang jadi langganan si ibu. Kalau begitu tak usah ada larangan, imbauan ‘Hormatilah orang yang berpuasa’ seperti anda mau.
Si ibu itu sedang mempraktikkan slogan yang lebih laku belakangan ini: “Hormatilah orang yang tak puasa,” dan anda sedang membelanya. Mudah-mudahan jadi amal baik.
Emosi yang terpicu umumnya adalah: Kasihan si ibu itu, kehilangan nafkah gara-gara pemaksaan agama dan sikap tidak toleran orang berpuasa.
Nah, mikirnya harus adil: ada puluhan bahkan ratusan pemilik warung makan di Serang yang secara sadar menutup warung makannya selama siang hari, karena taat aturan sekaligus menghormati Ramadhan. Banyak dari mereka seumur dan setingkat ekonominya dengan si ibu yang ditutup paksa itu, pasti mereka juga kehilangan rezeki, kenapa tidak kasihan kepada mereka? Yang jauh lebih banyak?
Kenapa yang tutup sendiri tak diliput media? Karena tidak ada unsur dramatis, ‘bukan berita’. Kalau ada pemaksaan kan asyik tuh gambarnya, ekspresinya, komentarnya.
Tapi emosi masyarakat yang dewasa tak bisa dieksploitasi media.
Pemkot setempat telah mengeluarkan aturan, edaran, yang intinya menyatakan warung-warung makan dilarang buka SIANG HARI selama Ramadhan.
Aturan tentu tak milih-milih milik rakyat kecil, nenek atau pengusaha abege.
Si ibu itu tidak mempraktikan kompetisi dagang yang adil karena dia buka sendiri saat rekan-rekan seprofesinya tutup. Ia bisa jualan menjelang magrib sampai malam, ketika yang lain-lain juga buka. Dan semua orang tau, pasar makanan jauh lebih rame saat buka puasa.
Sisihkan dulu rasa iba yang sering mengelebui pikiran.
Jadi yang salah siapa? Satpol PP? tentu tidak. Itu kewajiban mereka. Peraturan Pemkot Serang? Nilai saja sendiri, aturan yang melarang warung makan buka siang untuk kota yang 90persen lebih penduduknya Muslim, berjuluk kota santri pula. Data statistik tahun 2014 menunjukkan, dari sekitar 600 ribu jumlah penduduk kota itu, yang non muslim tak sampai 9 ribu orang. Kalau disebar rata 6 kecamatan yang ada di Kota Serang, satu kecamatan sekitar 1.500 orang. Itu pun hanya satu-dua dari mereka yang pelanggan warteg.
Supaya ungkapan kepedulian tak habis, orang berdalih: “Ah, beraninya sama rakyat kecil. Coba sama restoran dan hotel besar, berani ga?” Kalau betul jujur ingin mendapat jawaban ini, jangan menunggu kata-kata, pergi saja ke Kota Serang. Lihat sendiri, restoran-restoran di sana tutup atau buka?
Kalau hotel? Tolong fahami, fungsi utama hotel itu untuk tinggal, seperti rumah. Di rumah sendiri anda boleh menyajikan makanan kepada tamu.
Lalu alasan kita adalah, mungkin, meski mayoritas warga Serang Muslim, tapi kebanyakan mereka itu tidak puasa, dan Muslim katepe ini lah yang jadi langganan si ibu. Kalau begitu tak usah ada larangan, imbauan ‘Hormatilah orang yang berpuasa’ seperti anda mau.
Si ibu itu sedang mempraktikkan slogan yang lebih laku belakangan ini: “Hormatilah orang yang tak puasa,” dan anda sedang membelanya. Mudah-mudahan jadi amal baik.
BACA DAN BAGIKAN SEBANYAKNYA,
SEMOGA MENJADI AMAL BERIPAT DI BULAN SUCI RAMADHAN...AMIN
SEMOGA MENJADI AMAL BERIPAT DI BULAN SUCI RAMADHAN...AMIN